" “Terima kasih telah berkunjung, kunjungi terus blog ini untuk mendapatkan update terbaru, jika ada pertanyaan silahkan tinggalkan komentar - ”

Berhubungan Intim Berulang Kali di Siang Hari Bulan Ramadhan

Selamat pagi pembaca setia, bulan ramadhan ini saya ingin berbagi artikel dari http://www.tongkronganislami.netBerhubungan Intim Berulang Kali di Siang Hari Bulan Ramadhan silakan di simak ya...

Bulan Ramadhan merupakan ajang bagi segenap kaum muslimin untuk menaklukkan hawa nafsunya, baik yang berpusat pada perut (makan dan minum) maupun kemaluan (jima’ di siang hari Ramadhan). Semuanya dilakukan dalam rangka meraih predikat dari Allah sebagai orang-orang yang bertaqwa (lihat surat al-Baqarah: 183). Setelah waktu berbuka tiba, Allah kembali menghalalkan apa yang sebelumnya Ia haramkan. Hal ini sebagaiman firman-Nya:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيامِ الرَّفَثُ إِلى نِسائِكُمْ هُنَّ لِباسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِباسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتابَ عَلَيْكُمْ وَعَفا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ

“Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui, bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkanmu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu (Q.S. al-Baqarah, II: 187).”

Berkaitan dengan ayat ini, Imam al-Baidlawi mengatakan, dahulu kaum Muslimin ketika berbuka puasa dihalalkan makanan, minuman, dan jima’ hingga sampai akhir waktu isya atau sampai sebelum tidur. Kemudian Umar bin al-Khattab menggauli istrinya selepas waktu isya.

Beliau pun menyesal, lalu datang menghadap Rasulallah saw mengadu tentang perbuatan yang telah ia lakukan. Bersamaan dengan itu, para Sahabat lainnya juga mengutarakan hal yang sama. Sebagai respon atas hal ini dan kemurahan dari Allah swt, kemudian ayat ini diturunkan (lihat Tafsir al Baidlowi, I: 126. Lihat juga Tafsir Ibn Katsir, I: 375). Pendapat ini sejalan dengan riwayat:

عن الْبَرَاءَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمَّا نَزَلَ صَوْمُ رَمَضَانَ كَانُوا لا يَقْرَبُونَ النِّسَاءَ رَمَضَانَ كُلَّهُ وَكَانَ رِجَالٌ يَخُونُونَ أَنْفُسَهُمْ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ 

“Dari al-Barra’ ra; Tatkala Allah menurunkan perintah puasa Ramadhan, para laki-laki sama sekali tidak mendekati (menggauli) perempuan selama Ramadhan, namun mereka mengkhianati diri mereka sendiri (dengan menggauli istri mereka). Kemudian Allah menurunkan ayat ‘Allah mengetahui, bahwa kamu mengkhianati (tidak dapat menahan) dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkanmu (surat al-Baqarah: 187)’ (H.R. al-Bukhari no 4508).”

Lalu bagaimana dengan jima’ yang dilakukan di siang hari, bahkan berulang-ulang? Berikut bahasannya.

Perlu diingat dan betul difahami, jima’ di siang hari saat puasa (Ramadhan) adalah pembatal yang paling fatal. Hal ini sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurairah: 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ هَلَكْتُ فَقَالَ وَمَا ذَاكَ قَالَ وَقَعْتُ بِأَهْلِي فِي رَمَضَانَ قَالَ تَجِدُ رَقَبَةً قَالَ لا قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ لا قَالَ فَتَسْتَطِيعُ أَنْ تُطْعِمَ سِتِّينَ مِسْكِينًا قَالَ لا قَالَ فَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ الأَنْصَارِ بِعَرَقٍ وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ فِيهِ تَمْرٌ فَقَالَ اذْهَبْ بِهَذَا فَتَصَدَّقْ بِهِ قَالَ عَلَى أَحْوَجَ مِنَّا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا بَيْنَ لابَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ مِنَّا قَالَ اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ

“Dari Abu Hurairah ra, ia berkata; Seorang laki-laki mendatangi Rasulallah saw kemudian berkata, ‘Celakalah aku!.’ Rasulallah saw bertanya: ‘Apa gerangan?’ Laki-laki tersebut menjawab: ‘Aku menggauli istriku ketika (siang hari) Ramadhan.’ Rasul saw bertanya: ‘Apakah engkau mampu memerdekakan seorang budak wanita?’ Ia menjawab: ‘Tidak.’ Rasul saw kembali bertanya: ‘Apakah engkau sanggup berpuasa dua bulan berturut-turut?’ Ia menjawab: ‘Tidak.’ Rasul saw bertanya lagi: ‘Apakah engkau sanggup memberi makan enam puluh orang miskin?’ Ia menjawab: ‘Tidak.’ Abu Hurairah menuturkan, kemudian datang seorang Sahabat Anshar membawa satu keranjang kurma (diberikan kepada Rasulallah saw). Setelah itu Rasul saw bersabda: ‘Bawalah ini dan bersedekahlah dengannya.’ Lelaki tersebut menjawab: ‘Kepada yang lebih butuh dari kami, wahai Rasulallah? Demi Dzat Yang Mengutusmu dengan kebenaran, tidak ada diantara penduduk Madinah yang lebih membutuhkan (makanan) dari pada kami. Rasulallah saw menjawa: ‘Pergilah, dan beri makan keluargamu dengan kurma ini.’ (H.R. al-Bukhari no. 2600 dan Muslim no. 1111).”

Berkaitan dengan hadits ini, Imam Ibnu Qudamah berkata, kami tidak mengetahui adanya perselisihan para ulama tentang batalnya puasa orang yang menggauli istri pada kemaluannya baik menyebabkan keluar mani atau tidak, atau menggauli tidak pada kemaluannya kemudian mengeluarkan mani dan hal ini membatalkan puasa (wajib kafarat) jika dilakukan dengan sengaja sebagaimana ditunjukkan oleh banyak riwayat yang sahih (lihat al-Mughni, IV: 372).

Lalu bagaimana halnya jika jima’ dilakukan berulang kali? Terkait dengan hal ini ada beberapa keadaan.

Pertama, jika jima’ dilakukan berulang-ulang pada satu hari, maka ia hanya wajib membayar kafarat untuk hari itu. Sebab hubungan intim yang kedua pelakunya tidak dianggap sedang berpuasa.

Kedua, jika jima’ dilakukan berulang-ulang pada hari yang berbeda, terdapat dua pendapat ulama dalam hal ini. Imam Muhammad bin al-Hasan, az-Zuhri, al-Auza’i, dan pendapat yang lemah dari madzhab Hanbali mengatakan, cukup menunaikan satu kafarat saja; sebab jima’ di siang yang dilakukan berulang-ulang pada puasa Ramadhan adalah perkara jinayah -sebagaimana halnya hudud- dan pelakunya belum mendapatkan hukuman. Sedangkan ulama madzhab Maliki, Syafi’i, Hanafi, dan Hanbali menegaskan bahwa satu kafarat tidak mencukupi. Bahkan ia harus menunaikan kafarat terhadap jumlah hari yang ia rusak dengan jima’. 

Alasannya adalah, ibadah puasa tidak menyatu dalam hal hari-harinya; masing-masing hari puasa berdiri sendiri sehingga tidak dapat dianggap sebagai jarimah tunggal seperti halnya ketika seseorang melaksanakan dua haji dan dua umrah (sama dalam hal waktu, dimana dua haji dan dua umrah dilaksanakan dalam waktu yang berbeda –pent). Dan ini adalah pendapat yang benar. Sehingga orang yang berjima’ berulang kali pada hari yang berbeda wajib menunaikan kafarat terhadap hari puasa Ranadhan yang ia rusak dengan perbuatan jima’ (lihat al-Majmu’, VI: 239-240 dan fatwa asy-Syabakah al-Islamiyyah no. 6733)..

Kesimpulannya, orang yang melakukan jima’ di siang hari saat puasa Ramadhan menimbulkan konsekuensi sebagai berikut:

Pertama, pelakunya mendapat dosa, dan menjadi lebih berbahaya jika dilakukan di bulan Ramadhan.

Kedua, puasa yang dilakukan rusak/batal.

Ketiga, wajib menahan diri (al-imsak) dari makan, minum, dan juga jima’ kemudian mengqadla puasa yang rusak di hari yang lain.

Keempat, membayar kafarat; memerdekakan budak perempuan. Jika tidak mendapatkannya, maka puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang miskin jika ia tidak sanggup berpuasa.

Adapun jika seseorang melaksanakan puasa puasa wajib selain Ramadhan -seperti puasa kafarat, qadla, dan selainnya- maka ia mendapatkan dosa dan wajib menggantinya di hari yang lain tanpa disertai dengan kafarat. Sedangkan orang yang melakukan puasa sunnah kemudian membatalkannya dengan jima’ maka tidak menimbulkan konsekuesi apapun.

Jima’ merupakan pembatal puasa yang paling berat dan sudah seharusnya setiap muslim menaruh perhatian yang serius tentang hal ini. Hindarkan diri -terutama bagi yang memiliki syahwat menggebu-gebu- dari sebab yang bisa mengarah kepada hubungan intim suami istri ketika puasa wajib dan atau Ramadhan. Caranya bisa dengan menyibukkan diri di masjid atau melakukan amal shaleh lainnya. Pun Allah swt telah menjadikan malam ketika puasa sebagai waktu yang lapang bagi suami dan istri untuk menunaikan hajatnya secara syar’i. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Previous
Next Post »
Terima Kasih Sudah Berkomentar Dengan Baik